HATI SEBAGAI PUSAT SPIRITUALITAS
Di Barat cenderung lebih menekankan akal dan mengabaikan hati.
Pendidikan dasar mengharuskan untuk belajar membaca, menulis dan menghitung (aritmatika)
seluruhnya melibatkan kerja akal. Subjek-subjek yang menyuburkan hati, seperti
musik, kesenian dan keahlian-keahlian sosial, umumnya ditaruh pada nomor sekian
dan diperlukan sebagai pelengkap belaka.
Kenyataan ini menjelaskan stereotip (cara pandang) para sarjana berpendidikan
tinggi, pintar tapi tidak terlalu cerdas. Bertolak belakang pada hal tersebut,
psikologi sufi menekankan kebutuhan untuk menyuburkan hati. Seseorang yang
hatinya terbuka akan lebih bijaksana, penuh kasih sayang, dan lebih pengertian
daripada mereka yang hatinya tertutup.
Hati sebagai pusat spiritual yang dimaksud di sini adalah
hakekat spiritual batiniah, bukan hati dalam arti fisik. Hati adalah sumber
cahaya batiniah, inspirasi, kreativitas, dan belas kasih. Seorang sufi sejati
hatinya hidup, terjaga, dan dilimpahi cahaya. Seorang guru sufi menuturkan,
“Jika kata-kata berasal dari hati, ia akan masuk ke dalam hati, jika ia keluar
dari lisan, maka ia hanya sekadar melewati pendengaran.”
Hati janganlah disalah-artikan sebagai emosi. Emosi, seperti
amarah, rasa takut, dan keserakahan, berasal dari nafs. Ketika manusia berbicara
menganai ‘hasrat hati’, mereka biasanya merujuk pada hasrat nafs. Nafs
tertarik pada kenikmatan duniawi dan tidak peduli akan Tuhan; sedangkan hati tertarik
kepada Tuhan dan hanya mencari kenikmatan di dalam Tuhan.
Hati secara langsung beraksi atas setiap pikiran dan tindakan.
Seorang sufi kerap berkata, “Setiap tindakan yang baik memperlembut hati,
dan setiap kata dan tindakan yang buruk akan memperkeras hati.” Nabi
Muhammad Saw menyebutkan keutamaan hati saat berkata, “Sesungguhnya di dalam
tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia sehat, maka seluruh tubuh pun
sehat, jika ia sakit, maka seluruh tubuh pun akan sakit. Itulah yang disebut
hati.”
Seorang sufi dapat membuka mata hati dan telinga hati untuk
merasakan lebih dalam terhadap realitas-realitas batiniah, yang tersembunyi di
balik dunia material yang sangat kompleks. Hati memiliki mata yang digunakan
untuk menikmati pandangan alam ghaib, telinga untuk mendengarkan perkataan
penghuni alam gaib dan firman Tuhan, hidung untuk mencium wewangian yang gaib,
dan mulut untuk merasakan cinta, manisnya keimanan, serta harumnya pengetahuan spiritual.
Ada yang berpendapat bahwa hati ini adalah sebuah kuil yang
ditempatkan Tuhan di dalam diri setiap manusia. Kuil sebuah rumah suci untuk menampung
percikan Ilahi di dalam setiap diri manusia. Di dalam hadits terkenal, Tuhan
berkata, “Aku, yang tidak cukup ditampung oleh langit dan bumi, melainkan
Aku tertampung di dalam hati seorang beriman yang tulus.” Kuil di dalam diri
manusia ini lebih berharga daripada kuil tersuci sekalipun di muka bumi ini. Maka,
jika seseorang melukai hati orang lain, dosanya lebih besar daripada merusak
sebuah tempat suci di dalam dunia ini.
Menjadi seorang sufi berarti menyadari bahwa hati setiap orang
yang diketahui adalah kuil Tuhan. Banyak hati yang telah terlukai. Sufi dapat
melayani ciptaan Tuhan dengan berusaha menyembuhkan hati-hati yang terluka.
Pelayanan ini juga menyembuhkan dan membuka hati. Sebagaimana disebutkan seorang
guru sufi Anshari, “Semakin manusia mencinta, ia semakin membuka hati. Tindakan
tanpa disertai cinta dan niat hati yang tulus tidak begitu bermakna, atau bahkan
sama sekali tidak bermakna.”
Banyak di antara manusia yang membiarkan pemujaan terhadap
berhala yang mempengaruhi hati (berhala di sini dimaksudkan sebagai kenikmatan
duniawi yang bersifat sementara, seperti ketenaran, uang dan kekuasaan) serta
menghambakan diri untuk pencapaiannya.
Para sufi merujuk pada kondisi spiritual sebagai seorang “bayi,”
sebab bayi tersebut dilahirkan dalam hati dan dibesarkan serta bertumbuh
kembang di sana. Hati tersebut seperti seorang ibu, melahirkan, menyusui, dan
membesarkan buah hatinya. Sebagaimana pengetahuan duniawi diajarkan pada
anak-anak, anak yang normal belum dikotori oleh dosa-dosa dunia, “anak hati”
juga bersih, bebas dari acuh tak acuh, egoisme, dan keraguan. Kesucian
anak-anak seringkali muncul sebagai keindahan fisik; dalam mimpi, kesucian
“anak hati” muncul dalam bentuk malaikat. Ia berharap masuk Surga sebagai
balasan amal baik, tetapi pemberian Surga datang ke sini melalui “anak hati.”
Dengan beberapa keterangan bahwa hati ini memiliki tiga
hakekat spiritual, yaitu peleburan diri (fana), rahmat, dan kemampuan untuk
menjaga kelangsungan hidup. Ke-fana-annya memberikan tempat berlindung
sewaktu seseorang berada pada tahap kemiskinan spiritual, kemampuan memberi
rahmat memberikan tempat berlindung sewaktu seseorang berada pada tahap kecukupan
diri melalui Allah, sedangkan kemampuan untuk menjaga kelangsungan hidup
memberikan tempat bagi Allah sendiri.
keren sekali artikelnya sangat bagus
ReplyDeleteorang mendorong mobil